Rabu, 10 Agustus 2011

Litbang

Korupsi dan Kecacatan

Riyan Al Fajri

Indonesia memproklamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Diproklamirkan dengan sejumlah harapan dan cita-cita. Diproklamirkan dengan pengorbanan jawa dan darah. Diprokalmarikan dengan kejadian heroik yang memutus urat takut untuk menyikut penjajah. Tidak hanya menyikut tapi juga membredel bangsa penjajah, Jepang. Tak pelik, dalam waktu beberapa bulan saja, NICA yang merupakan antek Belanda di Asia Pasific berhasil menaklukkan kembali negeri tak bertuan ini dikala itu.

Sudah merdeka masih terjajah. Besarnya pengorbanan negeri ini. Kita tidak bisa membohongi sejarah bahwa banyak rakyat yang kepala nya terpenggal, banyak rakyat yang darahnya habis, banyak wanita yang tidak perawan akibat kebiadaban mereka. Kita tidak bisa membohongi sejarah bahwa banyak dari anak bangsa yang cacat karena serangan kaum biadab itu. Semakin keras dan semakin besar luka negeri ini, semakin kuatlah kekuatannya. Alhamdulillah kita sukses besar mempercundangi penjajah Belanda dengan mengusir mereka pada Desember 1949. Sukses ini pun berlanjut saat kita sukses merebut Irian Barat pada tahun-tahun berikutnya.

Sukses mempercundangi penjajah telah membuat semangat heroistik kita tidak terbendung. Kita yang merupakan Negara baru berusaha belajar untuk menjadi komunitas yang demokratis. Tidak heran jelang waktu 1949-1955 politik dalam negeri tidak stabil oleh karena pergantian perdana menteri yang tidak wajar. Tentu karena instabilitas nasional yang diakibatkan Negara ini baru lahir dan menghalalkan semua ideology. Hal ini menyebabkan banyaknya ide untuk membangun Negara akan tetapi saling bertabrakan dan saling menjatuhkan. Sudah lelah negeri ini dijajah bangsa lain, sekarang malah penduduknya yang berkelahi antar sesama.

Berusaha menemukan jati diri yang hilang, Bapak Bangsa, Soekarno, malah menawarkan Demokrasi yang semu, Demokrasi terpimpin. Demokrasi yang memberi peluang PKI dan antek-anteknya bercokol untuk menggesar keadigdayaan Pancasila. Demokrasi yang dengan terang mempercundangi Pancasila. Lihat saja, lahir NASAKOM. Komunis mengambil hati rakyat. Agama seperti binatang peliharaan. Nasionalisme terpojok. Pancasila menjadi korban. Penawaran yang sempurna untuk menghancurkan Negara ini. Penawaran yang sempurna untuk mengkomunisasi Negara ini. Penawaran yang sempurna untuk menyingkirkan Pancasila. Yang lebih menyedihkannya adalah rakyat mendukungnya walau akhirnya rakyat sadar bahwa demokrasi yang ditawarkan itu hanya semu yang hanya akan menghancurkan Negara ini. Ini terbukti saat PKI melakukan aksi 30/S/PKI. Lalu apa yang menyebabkan ini terjadi?

Sejarah kita tidak berhenti sampai disitu. Cobalah ingat sejarah berikutnya. Kita tidak perlu menutupi sejarah bahwa negeri ini pernah diperintah oleh orang sehebat Soeharto. Jenderal ahli perang yang bisa menggemparkan pasukan biadab penjajah pada serangan umum pada bulan maret yang mengabarkan pada dunia bahwa Indonesia masih ada. Memberitahu dunia bahwa Indonesia masih eksis. Terlepas dari kontroversi “kudeta politik” nya untuk mendapat posisi orang nomor wahid di Indonesia, ia sukses membangun Negara ini yang terpuruk oleh pemimpin orde lama.

Sayangnya, sejarah ini juga ternoda. Kita tidak perlu berbohong pula bahwa pada masa ini adalah masa paling subur terjadi korupsi di lingkungan istana. Memang zaman ini rakyat makan dengan cukup, pembangunan digiat dengan segala cara meskipun dengan utang. Akan tetapi pemimpin menikmati kelebihan uang Negara, menelanjangi uang-uang rakyat, Mencukur kekayaan daerah untuk kepentingan pribadi dan kelompok, Menelan dan membungkam pejuang-pejuang politis yang berperang melawan. Hina. Kejam. Tidak berperikemanusiaan. 1997, resesi Negara-negara asia menyelamatkan Negara ini. Dengan segala kehancuran yang ada, Negara ini lahir kembali. Lahir sebagai bangsa yang baru. Lahir dengan benih-benih unggul reformasi.

Reformasi menelurkan semangat baru. Sayang nya, kita belum melihat perkembangan pembangunan selain kebebasan press pada era ini. Kita tidak perlu takut untuk mengatakan yang sesungguhnya bahwa pada era ini rakyat bisa dibeli hanya dengan beras 1 karung, hukum bisa diatur dengan rupiah, sekolah menjadi bisnis untuk kepentingan pribadi, dewan berkelahi seperti petinju diatas ring, miris. Ya memang miris. Setiap era setiap masa selalu punya cacat. Siapa yang membuat cacat?

Secara singkat marilah kita lihat, semua kecacatan itu berhubungan dengan ekonomi. Semua kecacatan itu berhubungan dengan uang rakyat. Kasarkah bila kita katakan penyebab itu semua adalah orang-orang yang korupsi? Kasarkah bila kita katakan penyabab itu semua adalah jiwa-jiwa busuk koruptor yang memperkosa hak-hak rakyat? Kasarkah bila kita katakan penyebab itu semua adalah pecundang-pecundang yang melahirkan dan menelurkan kegagalan dalam bangsa?

1945-2011, Cacat. Itulah gambaran Indonesia. Kita tidak bisa banyangkan bagaimana darah-darah yang terkorban untuk kemerdekaan dan saat mempertahankannya itu menjadi uang-uang korupsi yang dinikmati oleh penjahat berdasi. Kita tidak bisa bayangkan bagaimana kepala yang terpenggal, darah perawan yang terkorban sekarang menjadi makanan pemuas koruptor hina dan menjadi pemuas nafsu mereka yang berduit.

Hentikan, hentikan, hentikan. Mari kita hentikan korupsi. Bersama. Dimulai dari diri sendiri. Dimulai dari hal yang kecil. Dimulai dari sekarang.

Bukan,

bukan Negara ini malu untuk maju

bukan pula Negara ini segan untuk membangun

Korupsi,

Kkorupsi menelanjangi negeri ini

Korupsi pula memperkosa rakyat negeri ini

Menghinakan Negeri dan menjadikannya babu

korupsi,

korupsi penyebabnya.

“Jika bukan kita yang menghentikan, Siapa lagi yang akan melakukannya?”

1 komentar:

  1. benar, sudah semestinya kita belajar dari sejarah yang lalu agar tidak terjatuh pada "lubang" yang itu-itu saja. sudah saatnya Indonesia mengadakan perubahan, klo perlu revolusi bukan lagi reformasi!!!

    kalimat yang terakhir mengingatkan pada sebuah iklan sabun kesehatan "d***l" , "klo bukan saya, siapa lagi?" hehehe

    BalasHapus