Sabtu, 20 Agustus 2011

Litbang

Negeri Kaya, Benar Kaya atau Mimpinya Kaya?

Riyan Al Fajri

“Sudah bukan rahasia lagi bahwa Indonesia Negara yang diakui rakyatnya sebagai Negara kaya sumber daya dan subur. Semakin kita membuka mata semakin kita dapati sebuah fakta yang berbanding terbalik dari seharusnya terjadi diantara negeri-negeri kaya itu. Lihatlah, Bagaimana mungkin negari kaya sumber daya alam ini bisa memiliki rakyat kurang gizi? Bagaimana mungkin negeri subur yang kata orang cukup lempar tongkat saja bisa tumbuh jadi tumbuhan ini banyak rakyat kelaparan? Makanan, rempah-rempah, sayur-sayuran, buah-buahan bisa ditanam diseluruh bagian Negara. Akan tetapi rakyat banyak yang kurang gizi. Seperti kata pepatah, ayam mati dilumbung padi, unta mati kehausan di padang pasir. Apa yang salah? Dimana yang salah?”

Selalu saja muncul kalimat seperti itu dari mulut-mulut kita yang tidak bisa menerima keadaan yang sedang terjadi. Bukan ingin mengkambinghitamkan sesuatu, tetapi kita butuh membuka mata lebih lebar lagi untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Andai kata kita membuka mata, kita dapati kenyataan, negeri subur itu kini banyak dilanda bencana banjir. Andai kata kita membuka mata, kita saksikan, negeri kaya tanaman-tanaman itu kini sedang berada dimusim kemarau panjang. Andai kita membuka mata, kita dapati, negeri yang kaya sumber daya mineral itu kini sedang menghadapi indahnya goyangan gempa dan hujan-hujan abu ledakan gunung. Andai kita membuka mata lebih lebar lagi, kita dengan malu menyadari, negeri yang kata orang kaya itu kini dipenuhi oleh pembesar-pembesar yang membuat terjadinya mismanagement dan pengalokasian dana rakyat untuk kantong pribadi sehingga dana yang seharusnya bisa membangun perkebunan, membina pertanian, membuka lapangan kerja baru, dan meningkatkan perekonomian rakyat malah menjadi ajang pesta pora sebagian besar dari mereka yang terhormat.

Negeri kaya sumber daya alam, begitulah kita mengakui dan bangga atas title yang negeri ini miliki. Hanya saja, terkadang kita menutup mata terhadap kondisi yang sebenarnya terjadi. Ternyata untuk menjadi negeri kaya yang sesungguhnya itu tidak cukup hanya dengan kaya sumber daya alam. Dunia sudah berkembang. Permasalahan semakin kompleks. Kita butuh stabilitas ekonomi, social, politik, dan kita juga butuh hadirnya sumber daya manusia yang berkualitas.

Inilah permasalahan utama negeri kaya ini, sumber daya manusia yang berkualitas. Ada yang berkualitas tapi terusir keluarga negeri. Kita tidak usah malu mengakui bahwa baru-baru ini kita memiliki seorang menteri yang mendapat predikat menteri keuangan terbaik di dunia yang pada akhirnya harus menyingkir ke World Bank karena instability politik di negeri ini. Kita juga tidak perlu menutup mata bahwa banyak peneliti berkewarganegaraan Indonesia enggan untuk balik ke negeri kaya ini dikarenakan tidak kondusifnya situasi untuk mengembangkan diri. Lalu ada pula yang tidak terlalu baik kualitasnya tetapi punya keahlian dalam mengolah kata dan loby-loby internal mereka yang menjadi orang-orang besar di Negara kaya ini. Contoh kecilnya kita bisa lihat di senayan tempat orang-orang terhormat dari 33 propinsi mewakili rakyat negeri kaya ini. Jika kita mencoba mereka dengan tes kecil untuk pelajaran berstandar lulusan Perguruan Tinggi dan disandingkan dengan orang-orang yang tersingkir itu, bisa kita yakini orang-orang yang tersingkir itu jauh lebih baik dari mereka. Akan tetapi, di negeri kaya ini kualitas bukan nomor 1. Itulah kesalahan terbesarnya.

Hal yang tidak bisa kita pungkiri lagi adalah adanya gelombang manis korupsi yang melatarbelakangi kehidupan berbangsa negera di negeri kaya ini. Aneh memang, bagaimana mungkin Negara kaya sebesar ini bisa terjebak dalam satu penyakit menahun korupsi yang susah disembuhkan. Siapa yang membawanya? Siapa yang tega menginfeksi negeri kaya ini? Kita tidak perlu susah payah mencari kambing hitam atas sebab penyakit manahun ini. Yang perlu kita lakukan adalah pengobatannya. Seperti kata pak dokter di negeri kaya ini, “Mencegah lebih baik daripada mengobati”. Kalimat tadi sepertinya ada benarnya juga. Ada baiknya kita melakukan pencegahan dini untuk penyakit yang satu ini agar negeri kaya ini bisa menjadi kaya.

Factor lain yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana perdagangan kita di dunia internasional. Menjadi kaya sumber daya alam tapi menjual barang melalui Negara lain dengan harga ditetapkan oleh Negara lain itu sama saja bohong. Contoh yang bisa membuat kita menutup mata adalah bagaimana negeri ini yang merupakan penghasil Crude Palm Oil dalam jumlah yang paling besar di dunia harus rela menjual barang mentah itu melalui Negara tetangga. Harga ditetapkan oleh Negara tetangga. Siapa salah? Apa yang salah?

Kita perlu menyadari bahwa perekonomian yang merupakan factor utama dari hal menjadi kaya selalu disandingkan pada moral masyarakat. Bukan berarti perekonomian yang rata-rata yang dimiliki Negara kaya ini disebabkan rendahnya moral seluruh masyarakat. Tidak. Bahkan banyak masyarakat di Negara kaya ini bermoral indah. Akan tetapi, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Kita tidak perlu menutupi bahwa negeri ini memiliki indeks korupsi yang tidak lebih dari 4. Artinya, negeri kaya ini dipenuhi oleh pejabat yang korup. Ini perlu kita benahi.

Hal yang perlu kita perhatikan lagi adalah alur investasi. Terlalu naïf kita berbicara betapa kaya nya sumber daya alam negeri ini haruslah memperkaya rakyat nya tanpa perlu adanya investasi. Kita harus sadar bahwa sumber daya alam baru bisa di eksplorasi hanya dengan kesiapan untuk melakukan investasi dan system management kerja yang baik. Budaya kerja, kesiapan modal, menjadi factor utama pendukungnya. Andai kata budaya kerja kita masih “Rajin Malas Gaji Sama” niscaya Negari kaya ini tidak akan jauh banyak berubah. Lagi pula, urusan modal kita bisa serahkan pada pasar. Andai kata kita memiliki system management yang baik, prospek investasi yang baik, investor tidak akan lari. Tidak akan menutup mata. Anak bangsa bisa mengelola alam negeri kaya ini. Hanya saja, hanya segelintir anak bangsa saja yang berani. Yang lainnya terlalu senang dengan janji manis untuk bekerja dengan orang luar negeri karena gaji yang lebih besar. kita tidak perlu menutupi itu. Itulah kenyataannya. Alhasil, negeri kaya ini menggunakan jasa asing untuk berproduksi yang artinya pengurangan pendapatan jika dilakukan sendiri. Memang resiko kerugian lebih kecil tetapi keuntungan juga tidak lah besar. kita harus ingat sebuah prinsip ekonomi, high risk high profit. Untuk apa takut resiko untuk keuntungan yang jauh lebih besar? kita bisa menganalisis nya melalui ilmu ekonomi.

Negeri kaya sumber daya alam ini, setelah dicintai oleh gempa, disayangi oleh banjir, dipeluk erat oleh korupsi, dipermalukan oleh budaya kerja yang kurang membangun, diperdaya oleh ketakutan mengambil resiko, dirusak oleh orang tertentu yang menyingkarkan orang-orang berkualitas, masihkah pantas kita menuntut keharusan untuk bisa menjadi Negara Kaya? Masihkah kita bisa meyakini kita kaya? Atau kita hanya bermimpi mendapatkan sebuah utopis ditengah padang gurun yang mengelilingi kita? atau memang negeri utopis ini ternyata kehilangan utopisnya karena hempasan badai pasir yang menimbunnya? Apa yang sebenarnya yang terjadi? Apa? Mari kita jawab dengan tindakan membangun daripada bermimpi atas kekayaan sumber daya alam ini.

Negeri kaya

Hanya sebuah nama atau sebuah harapan atau sebuah boomerang?

Negeri kaya

Kitakah? Merekakah? Siapakah?

Bukan begini atau begitu

Yang terbuang memperkaya orang

Yang bertahan menjilat ludah berlian

Pelangi pun enggan melirik

Salam dari laut dan perut bumi yang ternyata mendatangi

Negeri kaya

Tersenyum atau menangiskah?

“Kaya Sumber daya alam saja tidak cukup membuat suatu negeri menjadi kaya. SDM, Moral, Korupsi, Investasi, Stability, merupakan factor penentu sejauh mana negeri kaya sumber daya alam itu bisa menjadi negeri kaya.”

Riyan Al Fajri. Bermenung diantara ruatan ide yang tidak tertuliskan. 19 Agustus 2011. 22.24 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar