Jumat, 12 Agustus 2011

Litbang

Demo Mahasiswa “bisa” Jadi Ladang Korupsi

Riyan Al Fajri

Sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi kita dilayar televisi bahwa korupsi di negeri ini sudah meraja. Mulai dari korupsi berjamaah, korupsi pribadi, korupsi kasar, korupsi lembut, korupsi etis, dan segala nama yang lain yang ada. Tidak perlu kita malu mengakui juga bahwa di setiap lembar Koran yang kit abaca setiap pagi selalu ada berita korupsi, polisi, kejaksaan dan KPK.

Korupsi, entah kenapa sejak era reformasi kata ini menjadi beken tiba-tiba. Kita tidak perlu berbohong bahwa dalam satu hari kita pasti disuguhi oleh berita korupsi atau kita berbicara satu kata tersebut. Korupsi telah bisa menjadi trending topic yang akan selalu dibahas tanpa ada habisnya. Entah karena terlalu banyak yang korupsi atau entah karena yang mengurusi korupsinya juga korupsi. Ini mungkin terlalu kasar, tapi isu yang berkembang sedemikian adanya. Bahkan kita tidak perlu menutup muka karena kita memiliki dewan perwakilan yang ingin “membubarkan” KPK jika dan hanya jika.

Daya tarik korupsi ini ternyata telah merambah ke dunia mahasiswa. Mahasiswa yang katanya merupakan agent of change menjadi sangat proaktif memberantas satu penyakit masyarakat ini. Aksi-aksi heroik mahasiswa bisa kita saksikan di televisi yang mendemo koruptor. Ya setidaknya begitu lah tampaknya. Terkadang terkesan keren padahal jika kita lirik lagi jauh ke inti dari suatu perbuatan ternyata mahasiswa yang melakukan demo terhadap koruptor itu merupakan salah satu bentuk korupsi.

Terkejut? Ya tentu. Tidak lazim bagi mahasiswa untuk mengkritisi pekerjaan mahasiswa yang “aktif”. Begitu katanya. Hanya saja, kita lupa bahwa arti kata “aktif” disini ternyata ada sebagian mahasiswa yang menginterprestasikannya sebagai kewajiban untuk bisa berdemo. Wah, miris sekali kalau begitu. Bisa jatuh ke lembah korupsi lah semua mahasiswa yang “aktif”. Kenapa bisa begitu?

Mahasiswa berarti orang yang belajar di perguruan tinggi. Mereka memiliki pendidikan yang lebih baik, ilmu yang lebih mumpuni, dan emosi yang lebih terjaga. Hal ini dikarenakan mereka adalah orang yang intelek. Sayang sekali, sebagian dari orang yang intelek ini ada penyusup. Ya penyusup. Orang-orang yang sebenarnya belum memiliki ilmu yang mumpuni dan emosi yang terjaga tetapi mengatakan diri mereka mahasiswa.

Contoh kecil dari hal ini adalah Demo Mahasiswa. Tidak ada yang salah dari demo. Tidak. Apalagi jika mendemo korupsi. Hanya saja, terkadang demo dilakukan salah tempat dan salah waktu sehingga melahirkan suatu korupsi yang baru. Coba pikir, bagaimana mungkin kita ingin memberantas korupsi sedangkan kita sendiri melakukannya dengan korupsi?

Mari kita belah bersama, pada saat apa mahasiswa berdemo? Kita bisa meyakinkan beberapa kemungkinan. Pertama, saat mahasiswa tidak ada jadwal kuliah. Kedua, saat mahasiswa libur kuliah. Ketiga, saat mahasiswa cabut kuliah. Kita tidak usah malu mengakui bahwa tiga kemungkinan itu eksis dan memiliki persentase terbesar untuk menjadi pilihan mahasiswa melakukan demo. Pertanyaannya, pada saat apa mahasiswa berdemo? Jika pada saat tidak ada jadwal kuliah, silahkan. Suarakan isi hati rakyat. Sampaikan. Akan tetapi, jika dilakukan dengan mengorbankan jadwal kuliah, itu merupakan salah satu contoh korupsi yang paling akbar dikalangan mahasiswa.

Kita tidak perlu berkilah dengan seribu alasan untuk membenarkan pilihan untuk berdemo daripada kuliah. Alasan-alasan seperti kuliah membosankan, dosen bikin stress, telat bangun dsb hanyalah pepesan kosong yang tidak bisa menjadi alasan untuk membenarkan pilihan tersebut. Coba pikirkan apa tugas mahasiswa? Belajar, berkembang, bertanggung jawab, mendisplinkan diri dan membangun diri untuk kemajuan bangsa dan Negara. Kuliah adalah proses untuk belajar, berkembang, displin waktu, dan memupuk tanggung jawab. Andai kata prosesnya saja diabaikan, bagaimana mungkin akan ada perubaha? Yang hanya akan ada adalah demo yang tidak menghasilkan apapun selain kelelahan dan bau badan.

Hal lain yang bisa kita perhatikan adalah saat-saat orasi. Kita tidak perlu menutup telinga dan pura-pura tuli tidak mendengarkan bahwa setiap kata orasi yang disampaikan adalah kalimat-kalimat yang melecehkan orang yang dituju. Kita contohkan saja, ”SBY tidak becus mengurusi negeri ini. Turun SBY! Turun SBY!”. Penggunaan kata tidak becus menandakan sudah ada kesetujuan untuk seluruh peserta demo untuk mengatakan “ketidakbecusan” SBY dalam mengurus negeri ini. Hal ini menunjukkan kehinaan. Bayangkan saja, pemimpinnya saja dihina, apalagi orang lain dan orang kecil? Lalu tidak jarang pula kita membaca spanduk pendemo yang terkarang bertuliskan “Jancuk ……”. Jika saja penggunaan kata yang lebih sopan tidak bisa dipilih, bagaimana mungkin perubahan bisa terjadi? Perubahan itu bisa terjadi karena dua hal resesif dan persuasive. Dan tak jarang, resesif malah memutarbalikkan harapan dan menjadikannya gagal.

Kita lirik lagi dari waktu yang telah dihabiskan, hamper sebagian pendemo yang “cabut” dari kuliah yang berdemo menghabiskan waktu untuk berdemo. Korupsi waktu telah dilakukannya. Hal ini diperparah oleh korupsi lain yang dilakukannya. Kita harus benar-benar paham, korupsi itu tidak hanya sebatas mengambil uang dan selesai. Korupsi itu juga menyangkut proses. Jika prosesnya tidak benar, berarti telah terjadi korupsi. Coba kita saksikan lagi demo mahasiswa. Berapa biaya yang dihabiskan untuk korupsi? Dari semua biaya, berapa biaya yang terbuang sia-sia? Penggunaan dana mahasiswa biasanya dikoordinir oleh induk organisasi mahasiswa disetiap kampus. Andai kata, dana mahasiswa itu tujuannya untuk kepentingan pengembangan softskill mahasiswa, pertanyaaannya, apakah demo meningkatkan softskill mahasiswa? Jika iya, silahkan berdemo. Jika tidak, itu salah satu bentuk korupsi. Kenapa? Pengalokasian dana mahasiswa hanya untuk kegiatan kelompok. Ini bisa kita analogikan, missal ada partai X, dia menang pemilu. Lalu dia pakai uang Negara untuk mengadakan kongres besar yang diambil dengan mengurangi pos-pos untuk kegiatan yang lain.

Jika kita ingin membahas masalah korupsi pada kegiatan mahasiswa ini lebih dalam, semakin banyak yang akan kita temukan. Tentu semua itu tergantung pada kondisi-kondisi yang ada. Baru dikatakan korupsi kalau sudah cabut dari kuliah, kalau tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan dana mahasiswa, kalau tidak sesuai prosedurnya, kalau tidak sesuai aturan kemahasiswaan yang berlaku pada setiap organisasi mahasiswa. Jika semua itu sesuai dan tidak ada yang dilanggar, contoh demo diluar jam kuliah, ada AD/ART yang mengaturnya, ada aturan yang mengatur pengalokasian dana untuk demo, maka demo adalah pilihan yang cukup menarik untuk menyuarakan suara rakyat.

“Kita punya pilihan, harapan, aturan dan perhitungan. Perhatikan semua aspek dan bereaksilah. Gapai prestasi terbaik dan buktikan bahwa kita bisa lebih baik lagi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar