Bunuh Korupsinya, ( Bukan ) Bunuh Koruptornya
D |
eng Xiaoping, pemimpin besar Republik Rakyat Tiongkok saat pertama kali dilantik membuat sebuah pernyataan fenomenal, “ Beri saya 100 buah peti mati, dan sisakan satu untuk saya jika saya melakukan korupsi.” Semenjak saat itu China berdiri dalam garda terdepan dalam mengeksekusi para tersangka koruptor.
Kita ambil contoh lainnya. Lihatlah Latvia sebelum 1998, mereka adalah salah satu negara terkorup. Dan lihatlah langkah berani mereka dengan menerapkan UU Lustrasi Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan UU Pemotongan Generasi. Melalui UU ini, seluruh pejabat eselon II diberhentikan dan semua tokoh pejabat dan tokoh politik yang aktif sebelum tahun 1998 juga dilarang aktif kembali. Sekarang, negara ini menjadi negara yang benar-benar bersih dari korupsi," (http://nasional.kompas.com/read/2010/04/05/1400572/Soal.Pemberantasan.Korupsi.Indonesia.Perlu.Berkaca.pada.Latvia.dan.China )
Sekarang kita beralih ke tiga negara yang IPK-nya sudah berada di angka 9, yaitu Denmark, Singapura, dan Selandia Baru. Di saat Indonesia masih kesulitan untuk bergerak dari IPK 2.8, ketiga negara tersebut sudah mencapai IPK 9.3 dari skala 1-10. Dan ketiga negara tersebut sama sekali tidak menerapkan hukuman mati dalam sistem hukum mereka. Dan sebagai contoh paling gress, Phil Heatley, Menteri Perumahan Selandia Baru, mengundurkan diri setelah kedapatan menggunakan kartu kredit dinas untuk membeli dua botol arak anggur seharga 1.000 dollar Selandia Baru atau setara dengan 6 juta rupiah. Bandingkan apa yang dilakukan Phil Hetaley tersebut dengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat kita, tentu bagaikan bumi dan langit.
Kita sudah melihat, bagaimana langkah-langkah bangsa-bangsa lain dalam memerangi korupsi di negaranya. Lihatlah negara-negara yang tergolong paling bersih malah tidak membunuh koruptornya ( tidak menerapkan hukuman mati ). Di sini penulis ingin menyampaikan idenya jikalau cara yang paling efektif dalam memberantas korupsi bukanlah dengan cara menghukum mati koruptor tersebut. Pembinaan dan pencegahan adalah cara yang paling tepat dalam membentuk karakter bangsa yang jujur. Hal ini juga sejalan dengan apayang dikatakan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung RI, Marwan Effendy mengatakan efektifitas pemberantasan korupsi bukanlah dengan penindakan. Negara-negara ber-IPK tinggi lebih mengedepankan pencegahan dan pembenahan sistem yang menutup celah penyimpangan. (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/04/19/83387/Hukuman-Mati-Tak-Pengaruhi-Tingkat-Korupsi- ).
Kemudian marilah kita lihat dari sisi hukumnya. Dari segi aturan dan konstitusi , Indonesia mempunyai aturan pemberantasan dan pencegahan korupsi sebenarnya sudah sedemikian banyaknya. Berdasarkan data, setidaknya sudah ada 10 undang undang, 6 peraturan pemerintah, dan 6 instruksi Presiden yang berhubungan dengan perang melawan korupsi.( http://politik.kompasiana.com/2011/06/30/indonesia-negara-kleptokrasi/ ).
Namun, apakah kuantitas hukum yang sebegitu bejibun itu efektif untuk memerangi korupsi di Indonesia?Tidak atau lebih tepatnya kita mengatakan belum. Hal ini dikarenakan perangkat hukum yang menjalankannya belum terlalu tangguh. Seperti yang dikatakan adagium anonim,” Jangan menyapu lantai yang kotor dengan sapu yang kotor.” Hal ini juga harus dipertimbangkan apabila akan menerapkan hukuman mati, apakah sistem hukum keseluruhan kita sudah siap? Seperti yang dikatakan tim negatif dari Universitas Andalas dalam final Debat Konstitusi di Metro TV baru-baru ini,” Apakah kalian bisa mengembalikan lagi orang yang sudah dihukum mati apabila nantinya terbukti dia tidak bersalah?.” Sebuah pertanyaan yang tentu harus dijawab terutama oleh para penegak hukum dan lembaga-lembaga peradilan Indonesia.
Selain lemahnya sistem hukum, apabila para koruptor masih bisa berlindung di ketiak penguasa, alih-alih bisa dihukum mati, kasusnya disentuh pun akan serasa mustahil. Penulis juga ingin mengatakan jika sekarang ini Indonesia dapat dikatakan sebuah negara ironi. Para whistle blower yang sedianya menjadi pahlawan malah bisa “dijerumuskan” menjadi tersangka. Mengutip Halaman depan harian Media Indonesia (17/6) juga mencatat beberapa orang yang mencoba menjadi whistle blower namun justru harus menanggung risiko yang tidak ringan. Selain Agus Condro, ada juga nama Komjen (Pol) Susno Duadji yang pernah melaporkan adanya mafia hukum, namun justru dijerat dengan kasus suap dan penyalahgunaan wewenang dan divonis 3,5 tahun penjara. Kemudian ada Wa Ode Nurhayati, anggota DPR periode 2009-2014 ini melaporkan dugaan adanya calo anggaran di Badan Anggaran DPR, namun belakangan ia justru dituduh menerima suap. Lemahnya perlindungan terhadap saksi merupakan pekerjaan rumah yang harus dibenahi otoritas yudikatif kita.
Sebagai konklusi, penulis ingin menyampaikan solusi yang mungkin sudah terlalu sering kita dengar. Pertama, Indonesia perlu pemimpin yang “garang” dan berani untuk berdiri di garis depan dalam pemberantasan korupsi. Pemimpin yang memberikan aksi nyata, bukan pemimpin yang hanya memberikan instruksi-instruksi formal. Kedua, benahi sistem hukum Negara kita terutama di sektor penyidikan dan peradilan. Kalau perlu bubarkan dulu semua lembaga peradilan, kemudian rekrut lagi orang-orang yang benar-benar bersih dan kompeten. Jangan ada lagi, pencuri buah kakao dihukum, sedangkan para koruptor masih bisa tertawa. Kita jadikan Indonesia adalah neraka buat para koruptor. Ketiga, kita perlu mencontoh langkah-langkah yang dilakukan Latvia, Singapura, Denmark dan Selandia Baru. Lanjutkan pengesahan UU Lustrasi Nasional yang dulu sempat digagas oleh Mahfud MD saat menjadi Menkum HAM di era Prediden Abdurrahman Wahid kemudian dikombinasikan dengan pencegahan dan pembinaan semenjak dini, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang berkarakter kuat yang akan menjadi bangsa besar dalam sejarah peradaban dunia. Dan yang terakhir, hukuman yang pantas untuk koruptor itu adalah pemiskinan. Koruptor itu tidak takut dipenjara karena mereka merasa bisa “membeli” hukum. Namun, apabila semua asetnya disita, apakah mereka masih bisa membuat hukum tunduk di bawah kaki mereka? Sebuah pertanyaan yang retoris.
Sebagai penutup artikel yang singkat ini, mari kita renungkan substansi kalimat-kalimat berikut. Bangsa-bangsa kuat dalam yang pernah ada dalam sejarah peradaban dunia tidak hancur karena serangan musuhnya, namun peradaban yang sebegitu massif itu kolaps karena rusaknya moral bangsa. Semoga Indonesia bisa belajar dari pengalaman-pengalaman orang terdahulu tersebut untuk menyongsong kejayaaan menjadi mercusuar dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar