Selasa, 30 Agustus 2011

ForPro

Perangi Korupsi ; Mulai dari Introspeksi

Tri Hadi Putra

7 Mei 1939, perburuan itu mencapai puncaknya. 150 polisi mengepung sebuah apartemen di West End Avenue. Mereka melingkari tiap sisi apartemen, berjaga-jaga di tiap lantai, termasuk gedung sebelah. Membuat tempat-tempat pengintaian, menempatkan penembak jitu di atap-atap yang telah dilubangi. Karena hari itu, para polisi itu sedang mengepung seorang penjahat, Crowley si “Dua Senjata” – Pembunuh, Perampok yang tidak minum alcohol dan merokok terjebak di dalam apartemen tersebut.
Sepuluh ribu orang menjadi saksi pertikaian senjata api paling mencekam yang pernah terjadi di pinggiran kota New York. Crowly merangkak di belakang kursi, merunduk di bawah jendela, membalas tembakan polisi dari tiap celah yang ia temui. Dan polisi terus berusaha memancingnuya keluar, dengan tembakan, peringatan, dan gas air mata.
Dalam banyak catatan dan berita, Crowley digambarkan sebagai pembunuh yang kejam, sadis, bahkan penjahat terbesar dalam catatan criminal kota New York. “Dia akan membunuh hanya karena jatuhnya sehelai bulu,” ujar komisaris polisi E.P. Mulrooney.
Tapi bagaimana Crowley mengilustrasikan dirinya dari sudut pandangnya sendiri? Sudut pandang yang tak pernah dipakai oleh media dan pihak manapun.
Sebelum tertangkap., Crowley sempat menulis sepucuk surat yang di dalam suratnya ia berkata,”Di balik pakaian Saya, ada sebuah hati yang letih, sebuah hati yang baik – yang tidak tega melukai siapapun.” Sesaat sebelum Crowley memasuki apartemen itu, ia sempat menembak seorang polisi dari dalam mobilnya. Dan sesaat setelahnya lagi, Crowley keluar dan menembakkan satu peluru lagi ke tubuh yang tak berdaya itu. Itulah yang dilakukan oleh Seseorang ya ng mengakui bahwa Di balik pakaian Saya, ada sebuah hati yang letih, sebuah hati yang baik – yang tidak tega melukai siapapun.
Dan perhatikan kalimat terakhir yang diucapkan Crowley sebelum ia dihukum di Kursi listrik penjara Sing Sing. “Inikah yang aku dapatkan dari membela diri?”
***
Hal terpenting dari kisah di atas, menurut Dale Carnegie adalah bahwa Crowley, tak merasa dirinya bersalah. Sama halnya dengan penjahat-penjahat lain, Al Capone dan Dutch Schultz yang merasa bahwa diri mereka adalah Dermawan. Dan itulah yang mereka percayai.
Kembali ke dalam negeri, pada kasus Korupsi Gayus Tambunan. Setelah diketahui menerima sejumlah uang, yaitu sebesar Rp925 juta dari Robertus Santonius konsultan PT Metropolitan Retailmart dan uang sebesar US$3,5 juta dari Alif Kuncoro untuk pengurusan pajak PT Bumi Resources, PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin, Gayus didakwa dengan dakwaan primer Pasal 12 b ayat 1 dan 2, subsider Pasal 5 ayat 2 dan lebih subsider Pasal 11 UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengomentari hal di atas, Gayus menyampaikan bahwa "Keadilan yang hakiki ini,” ujar Gayus “ tidak saya dapatkan dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, maupun putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang tetap memvonis saya bersalah."

Dia mengungkapkan, dari awal dirinya sudah dijanjikan akan dijadikan whistle blower serta dibantu dengan media campaign, tetapi justru ia yang dibawa ke muka persidangan. Gayus pun meminta agar majelis hakim tidak takut untuk memutuskan dakwaan batal demi hukum jika memang dakwaan tidak terbukti.

"Saya selalu siap menjalani konsekuensi hukum dari apa yang telah saya perbuat, tidak pernah saya menghambat jalannya penyidikan maupun persidangan, saya hanya berharap proses hukum berjalan adil," tukasnya.
Demikian yang disampaikan di salah satu situs berita, berita8.com.
Gayus, dalam kata – katanya menunjukan sebuah pembelaan diri. Berharap ada putusan pengadilan yang adil untuknya, seolah dia adalah pihak yang dirugikan dalam semua tindak korupsinya. Memang, gayus tak merasa sebagai dermawan sebagaimana Al capone dan Dutch Schultz, namun jika ia belum menyadari kesalahannya maka ada kesamaan dengan penjahat – penjahat yang diceritakan di atas.
Sama halnya dengan rekan satu kasus, Nazarudin. Dalam proses hukumnya, Nazarudin lebih banyak menyoroti KPK dan Demokrat yang dianggapnya berkonspirasi. Terlepas dari benar tidaknya konspirasi tersebut, yang jelas Nazarudin tidak menjadikan kesalahannya – yang secara tidak langsung ia akui dalam sauratnya kepada SBY – sebagai ulasan utama. Intinya, hampir sama dengan Gayus dan para penjahat di atas, Nazarudin merasa ada banyak pihak yang ‘lebih salah’ dari dirinya. Atau setidaknya, mereka, Gayus dan Nazarudin merasa agak benar. Dan mereka percaya itu.
Dan kita…
Dalam salah satu bukunya, the 7 habits highly effective of teen, Sean Covey, dalam bab “Berpikir Menang dan Menang” menuliskan ada sebuah sikap mental negative yang kerap hinggap dalam prilaku manusia. Yakni sikap ‘Salah – salah’. Sebuah sikap dimana kita seringkali ‘membawa’ orang lain, turut serta dalam kesalahan kita. Seperti Nazrudin dan Gayus, yang hampir di setiap kesempatannya berbicara, memfokuskan pada kesalahan – kesalahan pihak lain ketimbang kesalahannya sendiri. Dan hal itu timbul dari kurangnya kesadaran terhadap kesalahan diri sendiri. Memang pihak lain juga berbuat salah (mungkin), tapi apakah dibenarkan mengotori pikiran publik dengan kesalahan orang lain? Hingga tak lagi tersisa ruang untuk kesalahan kita yang belum (atau tidak ) termaafkan?
Di bab yang lainnya, Sean Covey juga mengajarkan bahwa, memang berbuat salah adalah hal yang buruk, tapi tidak merasa bersalah, terlebih lagi menimpakan kesalahan kepada orang lain, adalah hal yang tidak termaafkan.
Mari lihat ke subyek hukum terdekat, yakni diri sendiri.
Sudahkah kita merasa bersalah disaat salah? Mendahulukan konsekuensi dari kesalahan kita ketimbang mengedepankan kesalahan orang lain – yang belum tentu salah? Meja dan kursi di kelas, ditambah AC yang (di beberapa ruangan) bertiup sepoi, ditunjang dengan kebersihan yang diupayakan oleh mas – mas CS, yang semua itu didanai dengan uang rakyat, sudahkah kita maksimalkan untuk sarana belajar? Ataukah kita masih lebih suka bersantai ria di dalamnya? Atau jangan – jangan kita malah tidur?
Uang bulanan yang dikirm orang tua kita, sudahkah kita manfaatkan di tempat yang semestinya? Digunakan untuk menunjang sarana belajar, atau malah kita nikmati di bioskop – bioskop terdekat, atau di Sevel? Atau dengan komik – komik keluaran terbaru? Untuk orang – orang yang mungkin menjawab dengan,”ah, sekali – kali hiburan nggak apa – apa donk..”. Silahkan sertai hatimu dalam menjawabnya. Karena, seringnya kita menyepelekan kesalahan yang kecil, kerap kali membuat kita kebablasan dengan kesalahan – kesalahan besar. Jika bang Napi mengatakan bahwa kejahatan (korupsi dan lain – lain) terjadi karena ada niat dan kesempatan, maka saya menambahkan satu hal. Kebiasaan.
Jalan beraspal yang kita lalaui setiap hari, yang mungkin telah rusak dan berlubang sana – sini, apakah masih kita lihat sebagai kesalahan pemerintah. Dan kita lupa bahwa seringkali kita ugal – ugalan dalam berkendara.
Sudahkah kita melihat dan mengakui, bahwa mungkin permasalahan negeri ini juga disebabkan oleh prilaku kita. Yah, memang para koruptor itu salah dalam beberapa hal, tapi mungkin kita juga punya sumbangan besar dalam terpuruknya negeri ini. Mari introspeksi.
Seringkali, Kita biasanya percaya dengan diri kita sendiri, dengan semua pertimbangan pribadi yang kita standardisasi. Kita menilai orang lain dengan standard yang kita miliki. Kita adili orang lain dengan hukum kita. Kita salahkan orang lain dengan subyektivitas kita. Dan kita, merasa tidak terlalu bersalah.
Maka di titik ini, marilah kita berhenti sejenak memikirkan kasus – kasus korupsi yang sedang mewarnai negeri ini, bukan untuk berhenti melawannya, melainkan untuk merekontruksi sudut pandang kita. Sadari, bahwa siapapun orangnya, terlebih lagi kita – calon birokrat keuangan, berpotensi melakukan korupsi. Maka sadari juga, bahwa tidak ada hukum manapun yang mampu mematikan potensi itu, selain kebiasaan positif yang kita bangun untuk menjauhi prilaku korup.
Mari bangkit lawan korupsi dan kebiasaan korupsi yang (tanpa sadar) ada di dalam diri! Hdi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar