Ketika Politik Mengganggu
Hukum
Masithoh Sobron Jamila*Direktorat Pendidikan
Sebuah uraian singkat, mengenai
curahan hati (baca : opini) anak negeri terhadap penegakan hukum di bumi
pertiwi. Bukan ditulis oleh seorang praktisi, mahasiswa hukum ataupun sospol,
hanya mahasiswa biasa yang mencoba peduli terhadap negaranya.
Hukum dan politik memang susah
untuk dipisahkan. Sering kita lihat, berbagai kasus hukum di indonesia direcoki
oleh masalah politik. Sang peramu hukum seringkali membuat Undang Undang yang terkesan
untuk kepentingan sebagian kecil orang saja. Hukum diterbitkan untuk menjegal
lawan politik saja. Ah, miris memang, ketika hukum sebenarnya digadang gadang
oleh masyarakat untuk mencari sebuah keadilan. Politik sering kali menggunakan
kasus hukum sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Hukum telah dijadikan
motor politik di negeri ini.
Tengok kembali kasus bank
Century, masyarakat yang telah rajin menyimak jalannya kasus ini harus
dikecewakan dengan adanya manuver politik dari partai-partai negeri ini melalui
anggota dewan yang terhormat. Hak angket tak ubahnya hanya sekedar guyonan
politik politisi demi membela kepentingan partainya, sekali lagi, kepentingan
partai, bukan lagi kepentingan rakyat. Kemana sekarang kasus ini ketika
kepentingan beberapa oknum telah terpenuhi??
Konflik kepentingan Penguasa
negeri memang masih mendominasi penegakan hukum di negera ini. Kasus Nazaruddin
misalnya, sebenarnya esensi dari masalahnya adalah korupsi wisma atlet SEA
Games di Palembang, telah beralih menjadi isu politik panas karena ada indikasi
keterlibatan elit politik dari sebuah parpol yang sedang berkuasa. Politisi mau
tak mau harus ikut intervensi kalau tak ingin lengser dari kursi kekuasaan yang
melenakan. Saling serang di media menjadikan fitnah dimana mana, hingga rakyat
bosan mendengarnya. Siapa yang berbohong dan siapa yang jujur sudah semakin
susah untuk diidentifikasi lagi.
Kasus terbaru, seorang anggota
dewan yang juga tengah tersangkut kasus korupsi wisma atlet, pun tak lepas dari
politik. Sempat beredar kabar, fraksi partainya akan memindahkan anggota dewan
tersebut dari komisi sepuluh ke komisi tiga DPR yang membawahi hukum. Sebagian
kalangan menduga hal ini dilakukan untuk melindunginya dari jeratan hukum.
Namun kelanjutan dari kisah ini belum dapat diketahui. Mengecewakan sekali
pemberitaan media malah semakin jauh dari esensi, dari kasus korupsi menjadi
konflik rumah tangga.
Adanya campur tangan politik di ranah hukum
menimbulkan hak warga negara terampas. Kedudukan seseorang di depan hukum saat
ini adalah berdasarkan kuat tidaknya posisi tawar. Tak ayal sering kita lihat
seorang tersangka kasus hukum mendapatkan keistimewaan tersendiri ketika sedang
menjalani proses hukum maupun ketika menjalani hukuman di penjara.
Hukum memang produk politik. Yang
meramu dan mengesahkan rancangan aturan untuk menjadi suatu komponen yang
bersifat memaksa bernama hukum adalah anggota dewan. Namun perlu digarisbawahi,
ketika telah mendapat legitimasi menjadi sebuah hukum, hendaknya para politisi
tidak mencampuri ataupun mengintervensi proses penegakan hukum lagi. Biarkan
aparat penegak hukum yang mengurusinya. Berikan kepercayaan lebih kepada KPK,
Kejaksaan dan Kepolisian untuk menunaikan tugasnya. Beberapa orang mengatakan
bahwa keterkaitan DPR adalah salah satu bentuk dari fungsi pengawasan, satu
dari tiga fungsi utama DPR. Tapi yang dimaksud mengawasi tidak juga dengan
suatu upaya intervensi.
Elit politik hendaknya hanyalah
mengawal jalannya proses hukum yang berjalan. Hormati upaya aparat penegak
hukum dan hentikan manuver politik dalam bentuk apapun demi tercapainya
penegakan hukum yang bersih, kapabel dan memberikan keadilan yang sebenar-benarnya.
Anggota DPR haruslah negarawan. Hilangkan kepentingan pribadi, partai, golongan
ketika menjalankan fungsi pengawasan. Yang ada hanyalah kepentingan bangsa dan
negara. Karena anggota dewan adalah wakil rakyat, bukanlah wakil politik, individu,
partai maupun golongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar